Manajemen Produksi Sapi Potong

BAB I
PENDAHULUAN
   Peternakan merupakan salah satu dari subsektor pertanian. Peternakan adalah suatu kegiatan budidaya hewan ternak untuk mendapatkan keuntungan dari jasa seperti tenaga dan hasil produk seperti susu, daging, telur, kulit, madu dan lain-lain. Subsektor peternakan terbagi menjadi ternak besar, yaitu sapi (perah/potong), kerbau, dan kuda, dan ternak kecil yang terdiri dari kambing, domba, dan babi serta ternak unggas (ayam, itik, dan burung puyuh).
     Pada umumnya sapi perah dipelihara di indonesia ialah FH dan PFH (peranakan fries holland). Sapi perah merupakan salah satu penghasil terbesar susu di dunia. Susu merupakan media yang mudah terkontaminsai oleh bakteri karena tidak bisa disimpan lama sehingga perlu penanganan. Proses penanganan susu sebelum dan setelah diperah merupakan kunci utama yang menentukan kualitas dan kelayakan susu untuk dikonsumsi. Rendahnya tingkat produktifitas ternak tersebut lebih disebabkan oleh kurangnya modal, serta pengetahuan/keterampilan peternak yang mencakup aspek reproduksi, pemberian pakan, pengelolaan hasil pascapanen, penerapan sistem pencatatan, sanitasi dan pencegahan  penyakit
Selain peternakan sapi perah, usaha penggemukan sapi potong juga mendatangkan keuntungan ganda berupa keuntungan dari pertambahan bobot badan dan kotoran (feses) berupa pupuk kandang (bokasi). Besar keuntungan ini tergantung pada pertambahan bobot badan yang dicapai dalam proses penggemukan, lama penggemukan dan harga daging saat penjualan. Terdapat berbagai pertimbangan yang harus dilakukan dalam memulai usaha penggemukan sapi, yakni metode penggemukan yang dipilih, jenis ternak yang digemukkan, aspek manajemen dan tatalaksana penggemukan. Agar usaha ternak sapi potong menghasilkan sapi berkualitas, peternak harus meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka dalam beternak sapi potong















BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Manajemen pemilihan bibit dan pemeliharaan
2.1.1 Pemilihan bibit  
Sapi potong merupakan hewan ternak dengan keanekaragaman jenis tinggi dan ditemukan hampir di semua negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan pernyataan Prasojoll (2010), menyatakan ada tiga bangsa ternak sapi potong yang merupakan sapi potong asli Indonesia yaitu sapi ongole, sapi madura, dan sapi bali. Para peternak meng-IB ternaknya dengan semen dari bangsa bos taurus yang telah disiapkan oleh petugas inseminator. Hal ini menyebabkan ketiga bangsa ternak sapi lokal jarang ditemukan di desa. Selain itu, para inseminator tidak melakukan recording untuk mengetahui silsilah ternak yang ingin dijadikan bibit. Kecilnya persentase data yang lengkap tersebut disebabkan masih kurangnya kesadaran inseminator tentang pentingnya pencatatan. dan data yang umumnya tidak ada adalah bobot lahir dari anak.
Anak yang dihasilkan dari persilangan yang menghasilkan bangsa bos taurus murni akan menyebabkan kecacatan/ tidak berfungsinya alat reproduksi sehingga tidak dapat berkembangbiaknya bangss bos taurus murni yang disebabkan oleh neurohormonal. Pada ternak potong lokal jumlah folikel preantral sangat bervariasi antara individu hewan dalam kategori yang sama, serta antara keturunan. Berdasarkan pernyataan Silva-Santos, et.al (2011) menyatakan bahwa hasil oosit semakin tinggi dari betina Bos indicus karena mekanisme pengendalian perkembangan folikel setelah tahap preantral kemungkinan menyumbang perbedaan antara Bos indicus dibandingkan dengan betina Bos taurus yang jumlah oosit diambil/berkurang pada ovum pick-up.
Menganalisis nilai rata-rata PBB dari tiga kelompok genetik diperoleh nilai-nilai yang dalam direkomendasikan untuk kinerja sapi di tahap ini mengalami pengembangan. Berdasarkan pernyataan Gandra, et.al (2011) menyatakan bahwa kesetaraan berkaitan dengan berat badan terakhir dengan pakan yang diberikan kepada hewan menjadi sama untuk setiap kelompok genetik, perbedaan ini diamati konsumsi bahan kering antara kelompok dan sebagai perbedaan dalam berat badan, hasil ini dapat dijelaskan oleh perbedaan metabolik antara kelompok sapi dievaluasi. Berdasarkan pernyataan Adrial (2010) menyatakan bahwa sapi pesisir termasuk bangsa sapi berukuran kecil. Namun, sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas rendah, pemeliharaan secara sederhana, dan tahan terhadap beberapa penyakit dan parasit. Sapi pesisir memiliki potensi besar dalam penyediaan daging untuk memenuhi gizi masyarakat dan sebagai ternak kurban.
Pemilihan bibit sapi potong tropis akan mencapai kedewasaan kelamin pada umur 1 ½ - 2 tahun. Bangsa-bangsa sapi subtropis akan mencapai kedewasaan kelamin  pada umur 8-12 bulan. Menurut Syafrial, dkk (2007) bahwa kondisi awal dalam memilih bibit sapi potong diantaranya adalah pilihlah sapi jantan yang keadaan phisiknya tidak terlalu kurus, tetapi kondisi tubuh secara umum harus sehat, Semakin berat bobot badan awal sapi (pada umur yang sama),semakin cepat pertumbuhannya. Bentuk kepala, tanduk dan kaki kelihatan lebih besar (khusus sapi Bali) tidak seperti kepala rusa.

2.1.2 Sistem pemeliharaan
Ternak sapi potong yang umumnya diternakkan oleh peternak adalah jenis simental dan limosin karena tingkat karkas yang tinggi dibandingkan ternak lokal. Selain itu, beberapa peternak memilih ternak lokal untuk dipelihara. Berdasarkan pernyataan Adrial (2010) menyatakan bahwa ternak lokal berperan penting dalam kehidupan masyarakat pedesaan serta memiliki beberapa sifat unggul dibandingkan dengan ternak impor.
Sapi lokal memiliki keunggulan daya adaptasi yang tinggi terhadap pakan berkualitas rendah, sistem pemeliharaan ekstensif tradisional, dan tahan terhadap beberapa penyakit dan parasit. Namun, produktivitas sapi lokal lebih rendah dibanding sapi impor. Menurut Syafrial, dkk (2007) bahwa cara penggemukan sapi yang paling efisien adalah penggemukan sapi yang dikurung di dalam kandang atau lazim disebut sistem kereman.
Biasanya petani juga memelihara sapi perah yang ditujukan untuk menghasilkan anak jantan untuk digemukkan, sedangkan anak sapi betina yang mempunyai performans baik/bagus dipersiapkan untuk ternak pengganti (replacement stock). Menurut utomo dan miranti (2010) bahwa sistem pemeliharaan sapi perah umumnya masih dilakukan secara tradisional. Lantai kandang masih berupa tanah (belum diplester), belum ada tempat pakan dan minum yang permanen. Sebagian besar pemilik kawanan (52%) membenarkan hal itu. Salgado, et. al (2014) menyatakan bahwa mereka menggunakan sistem pemeliharaan betis alami, memungkinkan menyusui sapi untuk memenuhi betis mereka (sejak lahir sampai disapih 6-8 bulan). Cohn et. al (2014) menyatakan bahwa model ini mencakup kemampuan untuk mengadopsi alternatif semi intensif sistem produksi peternakan sapi potong pada padang penggembalaan. Melalui pengelolaan lahan yang lebih baik, sistem alternatif memungkinkan produktivitas pasturelands menjadi dua kali lipat relatif terhadap output jika lahan dikelola secara konvensional. Produsen juga bisa mengadopsi perbaikan pemuliaan, pemberian makan, dan praktik pengelolaan lainnya.

2.2 Manajemen Pakan
2.2.1 Jenis pakan
Peternak memberikan pakan sapi dengan hasil sampingan industri pangan, seperti ampas tahu, dedak padi. Selain itu, peternak memberikan berupa hijauan yaitu rumput gajah dan tebon. Menurut Syafrial, dkk (2007) bahwa bahan pakan utama ternak sapi penggemukan adalah dalam bentuk hijauan yaitu berasal dari rumput unggul, rumput lokal dan leguminosa. Menurut Utomo dan Miranti (2010) bahwa pakan yang yang diberikan berupa konsentrat, hijauan (rumput gajah) dan singkong segar. Menurut Simamora, dkk (2015) bahwa jumlah pemberian hijauan dan konsentrat dilakukan sesuai perkiraan peternak.
Webb  dan Erasmu  (2013) menyatakan bahwa perlu kajian teknologi pakan ternak ruminansia yang tepat dalam mengatasi permasalahan tersebut. Hal yang sangat mungkin dilakukan adalah mengurangi penggunaan bahan pakan basal yang bentuk dan karakteristiknya bulky dan bergantung pada musim dengan cara suplementasi bahan pakan yang unvolumeneous dan tersedia sepanjang musim. Morris (2013) menyatakan bahwa macam makanan sangat berpengaruh terhadap konsentrasi jasad renik utamanya ketersediaan hijauan dan pakan penguat.
2.2.2 Kebutuhan nutrisi
Menurut Astuti, dkk (2009) menyatakan bahwa nutrien dibutuhkan ternak untuk: 1) Pemenuhan kebutuhan hidup pokok (maintenance), 2) Pertumbuhan atau penggemukan badan, 3) Sintesis dan sekresi susu, dan 4) Bekerja atau mengerjakan sesuatu yang melebihi normal. Menurut Syafrial, dkk (2007) bahwa pakan hijauan diberikan pada sapi sebanyak 10 – 12 % dan pakan. konsentrat 1 – 2 % dari bobot badan ternak. Berdasarkan pernyataan Adrial (2010) menyatakan bahwa Manajemen pakan melalui introduksi hijauan makanan ternak unggul, pemanfaatan bahan pakan lokal dan hasil ikutan produk pertanian, sistem integrasi tanaman-ternak, dan teknologi ransum seimbang berbasis low external input sustainable agriculture (LEISA). Weaber, et.al (2010) menyatakan bahwa konsep efisiensi umpan. Kambing-sapi komersial produsen berjuang untuk mengidentifikasi secara benar definisi dasar. Langkah efisiensi pakan dengan 32,6% memilih yang benar definisi rasio feed-to-gain dan 36,2% benar mendefinisikan efisiensi pakan. Morris (2013) menyatakan bahwa jumlah kebutuhan nutrisi bergantung jenis ternak, umur, fase, (pertumbuhan, dewasa, bunting, menyusui), kondisi tubuh (normal, sakit) dan lingkungan tempat hidupnya (temperatur, kelembapan, nisbi udara) serta berat badannya.
2.2.3 Frekuensi pemberian pakan
Jumlah konsumsi pakan merupakan salah satu tanda terbaik dari produktivitas ternak dan juga faktor esensial yang menjadi dasar untuk hidup dan menentukan produksi. Menurut Syafrial, dkk (2007) bahwa pemberian hijauan dapat dilakukan 3 kali sehari yakni pada pukul 08.00 pagi, 12.00 siang dan pukul 17.00 sore hari, sedangkan pakan konsentrat diberikan pagi hari sebelum pemberian hijauan. Menurut Simamora, dkk (2015) bahwa frekuensi pemberian hijauan 2 kali/hari sudah sesuai dengan harapan.
Menurut Kusnaidi dan Juarini (2007) bahwa penelitian dilakukan pada sapi-sapi perah laktasi di daerah Tanjungsari (Jawa Barat) dengan suplementasi pakan konsentrat yang lebih berkualitas sebanyak 2,5 kg/ekor/hari yang disertai dengan peningkatan frekuensi pemberian pakan dari 2 kali sehari menjadi 3 kali sehari, ternyata dapat meningkatkan produksi susu rata-rata 3 l/ekor/hari yang memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan rata-rata Rp. 1.425/ekor/hari. Weaber, et.al (2010) menyatakan bahwa profitabilitas dan keberlanjutan daging sapi AS industri. Selama fase pertumbuhan dan finishing produksi, peningkatan 10% dalam efisiensi pakan memiliki dua kali lipat dampaknya lebih besar terhadap keuntungan dari kenaikan 10% di tahun 2008 tingkat keuntungan. Anonymous (2017) bahwa empat sapi jantan sapi jantan digunakan untuk mempelajari pengaruh pemberian konsentrat 75Ec. diet dua kali (2 x) berbanding delapan kali (8 x) setiap hari pada tingkat cairan dan partikulat perkiraan.

2.3 Manajemen Kandang
2.3.1 Sistem perkandangan  
Menurut Rasyid dan Hartati (2007) bahwa kandang kelompok beratap sebagian merupakan kandang kelompok, pada bagian depan kandang (terutama tempat lungan) ditutupi oleh atap. Kandang kelompok model ini identik dengan kandang pelumbaran terbatas. Menurut Utomo dan Miranti (2010) bahwa salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan jalan memperbaiki manajemen pemeliharaan, terutama faktor pakan dan sistem perkandangan
Menurut cohn et. al (2014) bahwa tipe tunggal : terdiri dari satu baris sapi dengan posisi kepala satu arah yang cocok digunakan untuk menggemukan sapi sebanyak 1 – 5 ekor. Berdasarkan pernyataan Adrial (2010) menyatakan bahwa teknologi budi daya untuk meningkatkan produktivitas sapi pesisir mencakup penerapan manajemen usaha ternak terpadu melalui Manajemen perkandangan dengan teknologi kandang standar. Pola usaha penggemukan sapi yang sudah dikenal oleh masyarakat di pedesaan adalah sistem penggemukan secara tradisional. Salgado, et. al (2014) menyatakan bahwa dalam sistem ini, sapi umur muda tahun) dipelihara dengan dikandangkan (dikerem) secara terus menerus dalam waktu tertentu serta diberi pakan hijauan dan konsentrat, Tujuannya adalah untuk meningkatkan volume daging dengan mutu yang lebih baik dalam waktu relatif singkat

2.3.2 Konstruksi kandang
Persyaratan umum kandang untuk sapi perah yaitu sirkulasi udara cukup. Selain itu, Morris (2013) menyatakan bahwa mendapat sinar matahari agar kandang tidak lembab kelembaban ideal yaitu 60- 70%, lantai kandang selalu kering, tempat pakan yang lebar dan tempat air dibuat agar air selalu tersedia sepanjang hari. Kandang harus dibuat memenuhi syarat, antara lain: drainase dan ventilasi baik, lantai tidak licin, ada penampungan kotoran dan ukuran kandang minimal 1,5 × 2,5 meter per ekor. Menurut Simamora, dkk (2015) bahwa bahan kandang disesuaikan dengan tujuan usaha dan kemampuan ekonomi minimal tahan digunakan untuk jangka waktu 5-10 tahun. Tingkat kemiringan lantai tidak boleh lebih dari 5%.
Menurut Syafrial, dkk (2007) bahwa untuk lantai dari tanah yang dipadatkan, beri alas jerami kering atau daunan kering lainnya. Kegunaan alas ini agar sapi tidak kotor, untuk menyerap air kencing dan kotoran, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Menurut Navyanti dan Retno (2015) bahwa keadaan sanitasi kandang masih belum memenuhi syarat diantaranya letak kandang yang dekat dengan pemukiman penduduk, atap kandang terbuat dari seng dan asbes serta terdapat beberapa lubang kecil sehingga sapi kemungkinan terkena air hujan. DeVuyst (2013) menyatakan bahwa letak kandang tidak menggangu kesehatan lingkungan, Agak jauh dengan jalan umum, Air limbah tersalur dengan baik

2.4 Manajemen sanitasi dan bio security
2.4.1 Sanitasi
Menurut Navyanti dan Retno (2015) bahwa higiene sanitasi susu sapi yang meliputi kesehatan dan kebersihan kandang, kesehatan dan kebersihan pemerah, perawatan kebersihan peralatan hewan, perawatan kebersihan peralatan pemerahan, penanganan limbah sapi, kondisi proses pemerahan, dan pengelolaan susu. Menurut Syafrial, dkk (2007) bahwa sanitasi kandang, penyemprotan dengan insektisida (obat penghapus hama). Menurut utomo dan miranti (2010) bahwa penyebab rendahnya produksi susu adalah pakan (kualitas dan kuantitas), tata cara pemerahan, sistem perkandangan, sanitasi dan penyakit terutama mastitis. Newman, et.al (2008) menyatakan bahwa lantai kandang yang bersih sangat berpengaruh terhadap kebersihan udara didalam ruangan kandang itu sendiri. DeVuyst (2013) menyatakan bahwa menghindari penyebarluasan kuman dengan cara selalu membersihkan anggota badan dengan air hangat dan sabun ataupun disinfektan

2.4.2 Bio security
Biosecurity adalah usaha untuk menjaga suatu daerah dari masuknya agen penyakit, menjaga tersebarnya agen penyakit dari daerah tertentu, dan menjaga agar suatu penyakit tidak menyebar di dalam daerah tersebut. Menurut alemaheyu and samson (2014) bahwa biosekuriti adalah landasan pemeliharaan kesehatan ternak di tempat pakan ternak yang berorientasi ekspor. Menurut Syafrial, dkk (2007) bahwa tindakan pencegahan untuk menjaga kesehatan sapi adalah Menjaga kebersihan kandang beserta peralatannya, termasuk memandikan sapi. Menurut Navyanti dan Retno (2015) bahwa pembersihan kandang dilakukan sebanyak 2 kali dalam sehari yakni pagi, sebelum dilakukan pemerahan dansore, setelah pemerahan kedua dilakukan. Pada saat pembersihan hanya dilakukan menggunakan air bersih saja tanpa menggunakan sabun atau desinfektan.
Menurut Simamora, dkk (2015) bahwa peternak sapi perah untuk mengembangkan pengetahuan agar mampu mencegah penyakit ternak. Pencegahan penyakit sedini mungkin dilakukan dengan menjaga kebersihan kandang, kebersihan ternak dan memberikan pakan sesuai dengan kebutuhan. Menurut Newman (2013) bahwa dokter hewan untuk mendorong biosekuriti yang baik dalam semua aspek kesehatan dan kesehatan produksi. Pada pertemuan publik baru-baru ini seorang petani muda berulang kali bertanya kepada siapa yang mengatur kesehatan kawanan banteng dalam kaitannya dengan BVD Kesehatan Hewan Irlandia program pemberantasan; dia tidak sadar bahwa latihannya adalah tidak resmi namun dengan semakin berkembangnya pengetahuan tentang biosekuriti dia memang menyadari beberapa implikasi risiko dengan praktek itu).
2.4.3 Kesehatan
Memeriksa kesehatan sapi secara teratur dan dilakukan vaksinasi sesuai petunjuk. Menurut Syafrial, dkk (2007) bahwa penanganan kesehatan ternak diarahkan juga pada kesehatan reproduksi, dan kesehatan secara umum. Ternak sapi perlu diberi obat cacing dan vitamin B kompleks serta kebersihan lingkungan. Berdasarkan pernyataan Adrial (2010) menyatakan bahwa pencegahan dan pengendalian penyakit secara periodik, terutama penyakit menular, vaksinasi, pemberantasan vektor penyakit, menyiagakan petugas lapang (tenaga medis veteriner), serta melaporkan kejadian penyakit kepada petugas dan dinas peternakan setempat.
Menurut Utomo dan Miranti (2010) bahwa produktivitas sapi perah yang masih rendah disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kualitas genetik ternak, tatalaksana pakan, umur beranak pertama, periode laktasi, frekuensi pemerahan, masa kering kandang dan kesehatan. Program Pengendalian Penyakit Infeksi (Lepto, IBR, BVD dll) melalui biosekuriti dan vaksinasi. Menurut Raines, et.al (2008) bahwa dentition, yang melibatkan mempelajari Perkembangan sistem gigi, juga digunakan untuk mengelompokkan ternak menurut umur

2.5 Judging (nas dan buku)
      Febrina dan Mairika (2008) menyatakan bahwa umunmya pengalaman beternak diperoleh dari orang tuanya secara turun-temurun. Pengalaman betemak yang cukup lama memberikan indikasi bahwa pertgetahuan dan keterampilan petemak terhadap manajemen pemeliharaan ternak mempunyai kemampuan yang lebih baik. Pengalaman beternak sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usaha. Menurut leo, et. al (2012) menyatakan bahwa judging maupun seleksi sapi perah dalam pengamatan berguna untuk menghubungkan antara tipenya sebagai sapi perah yang baik dengan fungsi produksi susunya. Menurut mugisha, et.al (2014) menyatakan bahwa sapi perah yang baik perlu memiliki alat-alat tubuh yang besar termasuk perut guna mencernakan makanan yang banyak yang diperlukan untuk menghasilkan susu yang banyak. Gunawan (2008) menyatakan penilaian (judging) pada ternak sapi perah dilakukan melalui empat tahapan yaitu : 1) Pandangan samping yaitu untuk menilai keadaan lutut, kekompakan bentuk tubuh, keadaan pinggul dan kaki. Prasojoll (2010) menyatakan bahwa Perabaan. Penilaian ini untuk menentukan tingkat dan kualitas akhir melalui perabaan yang dirasakan melalui ketitisan, kerapatan dan kelunakan kulit serta perlemakannya 


2.6 Body Condition Score  
Lebih lanjut dijelaskan secara umum sapi-sapi yang berproduksi tinggi akan mengakibatkan buruknya nilai BCS dan kinerja reproduksi. Berdasarkan pernyataan Gandra, et.al (2011) menyatakan bahwa variasi nilai BCS dapat disebabkan oleh kemampuan ternak dalam menyerap nutrien dari pakan yang diberikan. Endrawati, dkk (2010) menyatakan bahwa sapi perah dengan nilai BCS 2,00-2,50 memiliki produksi susu yang lebih tinggi dibanding sapi perah dengan BCS 2,50- 3,00. Akan tetapi sapi-sapi dengan BCS 2,00-2,50 kinerja reproduksinya lebih buruk. Menurut Sulistyowati, dkk (2008) bahwa hubungan antara besarnya lingkar dada dengan kapasitas tampung rumen sapi sehingga produksi susu diharapkan juga tinggi. Penilaian dengan BCS pada sapi perah laktasi berkisar antara 2,5- 3,5. Berdasarkan pernyataan Silva-Santos, et.al (2011) menyatakan bahwa sapi dipelihara di padang rumput dan diberi makan mineral garam ad libitum Pada pemotongan, kondisi tubuh hewan ini adalah 4? 0,5 (skala, 1-5). Semua ternak dievaluasi secara hati-hati sesuai kondisi tubuh dan parameter kesehatan sebelum ternak dipotong.
Gunawan (2008) menyatakan bahwa penilaian kondisi badan umumnya digunakan metode skor antara 1 s/d 9 yang dikenal dengan “Body Condition Score” (BCS). BCS sapi Brahman berhubungan dengan performans reproduksi dan dapat dipergunakan untuk membuat suatu keputusan manajemen pemeliharaan































BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
1.       Ada tiga bangsa ternak sapi potong yang merupakan sapi potong asli Indonesia yaitu sapi ongole, sapi madura, dan sapi bali. Cara penggemukan sapi yang paling efisien adalah penggemukan sapi yang dikurung di dalam kandang atau lazim disebut sistem kereman.
2.       Bahan pakan utama ternak sapi penggemukan adalah dalam bentuk hijauan yaitu berasal dari rumput unggul, rumput lokal dan leguminosa. Pakan hijauan diberikan pada sapi sebanyak 10 – 12 % dan pakan. konsentrat 1 – 2 % dari bobot badan ternak. Pemberian hijauan dapat dilakukan 3 kali sehari, pakan konsentrat diberikan pagi hari sebelum pemberian hijauan
3.       Kandang disesuaikan dengan tujuan usaha dan kemampuan ekonomi minimal tahan digunakan untuk jangka waktu 5-10 tahun  Persyaratan umum kandang untuk sapi perah yaitu sirkulasi udara cukup dan mendapat sinar matahari agar kandang tidak lembab kelembaban ideal yaitu 60- 70%, lantai kandang selalu kering, tempat pakan yang lebar dan tempat air dibuat agar air selalu tersedia sepanjang hari
4.       Penanganan kesehatan ternak diarahkan juga pada kesehatan reproduksi, dan kesehatan secara umum. Ternak sapi perlu diberi obat cacing dan vitamin B kompleks serta kebersihan lingkungan.

3.2 Saran
Saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu yang terkait bagi pembaca serta masyarakat. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami mengharapkan masukan dan arahan dari semua pihak guna perbaikan yang lebih baik























DAFTAR PUSTAKA

Alemayehu, G and Samson, L. 2014. Biosecurity practices in central ethiopian cattle feedlots : its implication for live cattle export. International journal of livestock. 5(11) : 181-187
Adrial.2010. Potensi Sapi Pesisir Dan Upaya Pengembangannya Di Sumatera Barat. Jurnal Litbang Pertanian, 29(2): 66-73
Astuti, A., Ali, A., dan Subur, P. S. B. 2009. Pengaruh Penggunaan High Quality Feed Supplement Terhadap Konsumsi dan Kecernaan Nutrien Sapi Perah Awal Laktasi. Buletin Peternakan. 33(2): 81-87
Cohn, A. S., Aline, M, Petr Havlíkc, Hugo Valinc, Mario Herrerod, Erwin Schmide, Michael O’Haref, and Michael Obersteinerc 2014 , Cattle ranching intensification in Brazil can reduce global greenhouse gas emissions by sparing land from deforestation. PNAS. 111 (20): 7236–7241
Devuyst, E. A. 2013. Construction and Operating Costs For Whitetail Deer Farms. Journal Of The Asfmra. 3 (1): 1-18
Endrawati, E., Endang, B, Dan Subur P. S. B. 2010. Performans Induk Sapi Silangan Simmental – Peranakan Ongole Dan Induk Sapi Peranakan Ongole Dengan Pakan Hijauan Dan Konsentrat. Buletin Peternakan. 34(2): 86-93
Febrina, D dan Mairika, L. 2008, Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai  Pakan Ruminansia Paoa Peternak Rakyat 01 Kecamatan Rengat Barat Kabupaten Inoragiri Hulu. Jurnal Peternakan. 5(1 ): 28 -37
Gandra, J.R., Freitas Jr, J.E., Barletta, R.V.,Maturana Filho, M., Gimenes, L.U., Vilela, F.G., Baruselli, P.S., and Rennó. F.P. 2011. Productive performance, nutrient digestion and metabolism of Holstein (Bos taurus) and Nellore (Bos taurus indicus) cattle and Mediterranean Buffaloes (Bubalis bubalis) fed with corn-silage based diets. Livestock Science. 140:283–291
Gunawan. 2008. Petunjuk Pemeliharaan Sapi Brahman Cross. Sembawa. Bptu Sembawa, Ditjen Peternakan
Kusnadi, U dan Juarini., E. 2007 Optimalisasi Pendapatan Usaha Pemeliharaan Sapi Perah dalam Upaya Peningkatan Produksi Susu Nasional. Wartazoa. 17(1): 21-29
Morris, S. T. 2013. Sheep and Beef Cattle Production Systems. Animal And Biomedical Sciences. 3 (2): 79-85
Mugisha, A., Vincent, K., David, O And John, M. 2014. Breeding Services And The Factors Influencing Their Use On Smallholder Dairy Farms In Central Uganda. Veterinary Medicine International. 20(4):1-6
Navyanti, F dan Retno, A. 2015. Higiene Sanitasi, Kualitas Fisik dan Bakteriologi Susu Sapi Segar Perusahaan Susu X di Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 8(1): 36–47
Newman, M. 2013. Beef Breed Management. Veterinary Ireland Journal. 3(7) :395-398
Prasojoll, G., lis, Adan  Kusdiantoro, M. 2010. Korelasi Antara Lama Kehuntingan, Bohot Lahir dan Jenis Kelamin Pedet Hasil Inseminasi Buatan pada Sapi Bali. Jurnai Vcteriner. 11(1)-41-45
Raines, C. R., Dikeman, M. E., Unruh, M. C. Hunt, and R. C. Knock. 2008. Predicting cattle age from eye lens weight and nitrogen content, dentition, and United States Department of Agriculture maturity score. J. Anim. Sci. 86:3557–3567

Rasyid dan Hartati. 2007. Petunjuk Teknis Perkandangan Sapi Potong. Pasuruan. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Peternakan
Salgado, M, Barbara, O, Errol, S, German, R and Sofia, B. 2014, A Cross Sectional Observational Study To Estimate Herd Level Risk Factors For Leptospira Spp. Serovars In Small Holder Dairy Cattle Farms In Southern Chile. Veterinary Research  10(126) : 1-6
Silva-Santos, K.C., Santos, G.M.G., Siloto, L.S., Hertel, M.F., Andrade, E.R., Rubin, M.I.B., Sturion, L., Melo-Sterza,d, F.A., and Seneda, M.M. 2011.Estimate of the population of preantral follicles in the ovaries of Bos taurus indicus and Bos taurus taurus cattle. Theriogenology. 76 : 1051–1057
Simamora, T., Fuah, A.M. Atabany, A., dan Burhanuddin.2015. Evaluasi Aspek Teknis Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kabupaten Karo Sumatera Utara. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan. 03(1): 52-58
Sulistyowati, E., Siwitri, K, Lobis, S., dan Gilbert, T. Performans Produksi Susu Sapi Perah Friesh Holland (FH) di Desa Air Duku dan Air Putih Kali Bandung, Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 3(2): 75-81
Syafrial, Endang, S., dan Bustami. 2007. Manajemen Pengelolaan Penggemukan Sapi Potong. Jambi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi
Webb, E.C and Erasmus, L.J. 2013, The Effect Of Production System and Management Practices On The Quality Of Meat Products From Ruminant Livestock. South African Journal Of Animal Science. 43 (3)
Utomo, B. dan Miranti D P. 2010. Tampilan Produksi Susu Sapi Perah Yang Mendapat Perbaikan Manajeman Pemeliharaan. Caraka Tani. 25 (1): 21-26


Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah sistem pertanian terpadu

contoh manual mutu produk pangan yang sederhana